--> Skip to main content

BATARA GURU

MENGURAI BENANG KUSUT TENTANG SOSOK BATARA GURU 


Oleh: Syansanata Ra
(Yeddi Aprian Syakh al-athas)

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Kajian ini saya angkat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Saudara Tenri Ewa beberapa waktu yang lalu di facebook.

Untuk itu sebelum kita melanjutkan kajian ini, maka ada beberapa catatan kecil yang perlu kita sepakati terlebih dulu...

1. Kajian ini cukup panjang, tetapi bisa disave untuk dibaca kapanpun jika sudah memiliki waktu luang. Tetapi jika dibaca tuntas maka tentunya akan semakin bermanfaat.
Ada sebuah nasehat penuh makna dari leluhur kita di masa lalu tentang betapa pentingnya membaca tulisan apapun secara tuntas,
“Yen ngewacen lontar de san nenga-nenga, nyanan tul patintul pepinehé”
(Jika membaca tulisan janganlah setengah-setengah, karena hanya akan memberikan interpretasi yang prematur).
2. Kajian ini disarikan dari berbagai sumber baik sumber referensi ilmiah ataupun sumber referensi spiritual seperti diskusi lahiriah dan diskusi batiniah.
3. Kajian ini merupakan ijtihad pemikiran semata, jika benar adanya maka kebenaran itu datangnya hanya dari Tuhanmu Yang Maha Benar (Al-Haqqu min Rabbika, fa Laa takuunanna minal mumtariin). Tetapi jika didalamnya terdapat kesalahan atau kekeliruan, maka kesalahan dan kekeliruan tersebut datangnya semata dari diri saya pribadi, dan saya membuka pintu koreksi yang sebesar-besarnya demi untuk kesempurnaan kajian ini.

Jika Anda setuju dengan beberapa catatan kecil di atas mari kita lanjutkan, dan jika Anda tidak setuju maka disarankan untuk berhenti sampai disini...



Nah untuk yang setuju, mari kita mulai...

Saudara Tenri Ewa bertanya:

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih Kang. Saya termasuk salah satu yang senang membaca tulisan-tulisan dari Kang Yeddi. Terlepas dari manapun sumbernya,  saya selalu dapat memetik ilmu dari sana walaupun tidak semua mampu saya cerna karena masih terbatasnya kemampuan berpikir saya. Oh ya izinkan saya bertanya tentang beberapa hal.

PERTANYAAN PERTAMA :

Saat ini dalam kosakata Bahasa Bugis khususnya rumpun Bahasa Bugis yang saya gunakan, kata BATARA memiliki arti “langit”. Jadi jika sebutan BATARA GURU diartikan dalam rumpun Bahasa Bugis yang saya gunakan, maka artinya adalah “Guru Langit”, sebuah kata sederhana yang maknanya memang sangat luas.

Nah yang menjadi pertanyaan saya adalah mengapa kosakata BATARA masuk ke dalam Bahasa Bugis yang kemudian diartikan sebagai “langit”? Apakah kata BATARA ini merupakan kata serapan yang diserap ke dalam Bahasa Bugis ataukah kata ini merupakan bahasa asli Bugis yang diserap ke dalam bahasa lain dan kemudian menjadi memiliki arti yang berbeda?

PERTANYAAN KEDUA :

Beberapa orang cenderung menyamakan antara BATARA GURU yang ada di Sulawesi dengan BATARA GURU yang ada di luar Sulawesi, karena baik kisah yang ada di Sulawesi ataupun di luar Sulawesi ternyata semuanya memiliki kesamaan yakni sama-sama memiliki seorang Putri yang dikenal sebagai DEWI PADI. Jika di Jawa dikenal dengan nama DEWI SRI, maka di Sulawesi dikenal dengan nama SANGIANG SERRI. Jadi jika ada yang menganggap BATARA GURU yang ada di Sulawesi dengan BATARA GURU yang ada di luar Sulawesi adalah tokoh yang sama, mungkin salah satunya adalah karena kesamaan Putri yang dikenal sebagai DEWI PADI ini. Nah menurut Kang Yeddi bagaimana?

PERTANYAAN KETIGA :

Saya pernah membaca tentang silsilah BATARA GURU dalam sebuah literatur dan menemukan ada dua sosok BATARA GURU dalam silsilah tersebut, dimana BATARA GURU yang satu sezaman dengan Rasulullah saw, dan BATARA GURU yang satunya lagi justru berada 13 generasi di atas Rasulullah saw. Memang tidak menutup kemungkinan jika masih ada sosok BATARA GURU yang lainnya lagi, mengingat sosok yang disebut PATOTOE ternyata merujuk ke beberapa sosok yang berbeda. Dan jika merujuk ke naskah Bugis I LA GALIGO yang pernah saya kaji, justru BATARA GURU itu hidup sekitar 13 generasi di atas Rasulullah saw dan masih merupakan cucu dari Nabi Sulaiman as. Nah menurut Kang Yeddi bagaimana?

PERTANYAAN KEEMPAT :

Dalam Bahasa Bugis, kata SEUWWA digunakan untuk menyebut angka “satu”. Misalnya: Engka Seuwwa Wettu yang berarti “ada satu waktu”. Nah kira-kira apa kaitannya antara kata SEUWWAE yang dalam Bahasa Bugis berarti “satu” dengan kata SIWA? Terima kasih Kang Yeddi.

Dan berikut jawaban saya atas keempat pertanyaan yang diajukan oleh Saudara Tenri Ewa di atas...

JAWABAN UNTUK PERTANYAAN PERTAMA:

Sependek pengetahuan saya, bahwa penyebutan kata BATARA dalam Bahasa Bugis itu adalah BITTARA atau BETARA yang artinya adalah “jauh diatas sana” dan bukan "langit" karena dalam Bahasa Bugis, langit disebut dengan diksi kata LANGIQ atau LANGI'.

Pemaknaan BITTARA atau BETARA yang berarti “jauh diatas sana” ini sama dengan kata HYANG yang dalam Kamus Bahasa Kawi Bali karya Dr. Van der Tuuk memiliki arti “Leluhur”. Kata “Leluhur” sendiri merupakan bentuk jamak dari kata “Luhur” yang memiliki arti “di atas, terhormat, mulia dan agung” sehingga kata “Leluhur” dapat dimaknai sebagai “sosok terhormat atau sosok agung yang berada di atas”.

Menurut Prof. Muhammad Yamin, kata BATARA berasal dari Bahasa Sansekerta BHATTARA yang telah lama dipakai dalam rumpun Bahasa Austronesia, yang bahkan telah tertulis pada sebuah arca kuno yang ditemukan di Dieng yang berasal dari tahun 800 SM dimanabpada arca kuno tersebut tertera tulisan "BHATARA i Dihyang" yang diartikan sebagai "BATARA di Dieng".

Catatan tambahan:
Di dalam Genesis Rumpun Bahasa Austronesia, diketahui bahwa bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah Bahasa Mandar dan Bahasa Bugis. Kedua bahasa ini adalah turunan dari Bahasa Wolio (Buton). Dan Bahasa Wolio adalah turunan dari Bahasa Makassar. Dan Bahasa Makassar adalah turunan campuran dari Bahasa TAE’ (Luwu) dan Bahasa BARE’E (Sulawesi tengah).
<><><><><><><>

Nah kata BHATTARA yang dalam Bahasa Sansekerta berarti "Tuhan yang Mulia atau Tuhan Yang Agung" inilah yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Filipina menjadi BATHALA yang berarti "yang berdiam tinggi di langit", diserap ke dalam Bahasa Jawa Kuno menjadi BATHARA yang berarti "dewa", dan diserap ke dalam Bahasa Melayu menjadi BATARA yang berarti "dewa-dewa".

-- Dalam Bahasa Sansekerta: BHATTARA.
-- Dalam Bahasa FIlipina: BATHALA.
-- Dalam Bahasa Melayu: BATARA.
-- Dalam Bahasa Jawa Kuno: BHATARA.
-- Dalam Bahasa Bugis: BITTARA / BETARA.

Nah kosakata BATARA yang masuk dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia saat ini sebenarnya adalah kata serapan dari Bahasa Melayu yang menyebut kata BHATTARA sebagai BATARA.

Dan kata BHATTARA sendiri dalam Bahasa sansekerta berasal dari kata BHATR yang berarti "dewa, raja, yang dipertuan, pelindung, pengayom".

Dalam Suma Oriental karya Tome Pires yang berasal dari tahun 1513 M (Tome Pires adalah orang Portugis yang menjabat sebagai wakil dagang Portugis dan menulis catatan-catatan penting tentang Nusantara mulai tahun 1511-1540 M), disebutkan bahwa di Pulau Jawa ada seorang raja yang bernama BATARA VIGIAYA, dimana kata BATARA VIGIAYA ini merupakan bentuk ejaan dari kata BHATARA WIJAYA dalam Bahasa Portugis.

Jadi dari sini dapat diketahui bahwa gelaran BHATARA itu ternyata bukan hanya disematkan kepada para dewa saja, namun rupanya juga disematkan kepada para penguasa utama yang membawahi raja-raja bawahan yang bergelar BHRE. Nah kombinasi kosakata BHATARA WIJAYA inilah yang kemudian dikenal sebagai BRAWIJAYA yang berasal dari kata BHRA-WIJAYA. Gelar BHRA sendiri adalah singkatan dari kata BHATARA, yang berarti "baginda". Sedangkan gelar BHRE yang banyak dijumpai dalam Kitab Pararaton berasal dari gabungan kata BHRA-i, yang bermakna "baginda di". Maka dengan demikian, BRAWIJAYA atau BHRA-WIJAYA atau BHRE-WIJAYA bisa juga diartikan sebagai BHATARA WIJAYA yang berarti “Pelindung / Penguasa dari keluarga Wijaya” atau “Pelindung / Penguasa dari keturunan Wijaya”.

JAWABAN UNTUK PERTANYAAN KEDUA:

Menurut Mitologi Jawa, BATARA GURU adalah salah seorang Dewata Tritunggal yang menguasai Mayapada (dunia atas). Ia memiliki dua saudara, yakni Sang Hyang Tejamaya (Togog) dan Sang Hyang Ismaya (Semar). Ketiganya adalah putra dari Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Ketiganya berasal dari sebutir telur, dimana kulit telurnya menjadi Sang Hyang Tejamaya (Togog) sebagai putra sulung, putih telurnya menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar) sebagai putra kedua, dan kuning telurnya menjadi Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru) sebagai putra bungsu. Kemudian ayah mereka yakni Sang Hyang Tunggal menunjuk Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru) sebagai penguasa Mayapada (dunia atas), Sang Hyang Ismaya (Semar) sebagai penguasa Madyapada (dunia tengah) dan Sang Hyang Tejamaya (Togog) sebagai penguasa Arcapada (dunia bawah).

Sedangkan dalam Mitologi Batak, BATARA GURU adalah salah satu dari Debata na Tolu (Dewata Tritunggal) yang menguasai Banua Ginjang (dunia atas). Ia memiliki dua saudara, yakni Debata Sori Pada dan Debata Mangala Bulan. Ketiganya adalah putra dari Debata Mula Jadi. Ketiganya berasal dari sebutir telur yang dierami seekor ayam betina raksasa bernama Manuk Patiaraja, sesosok awatara dari Debata Asi Asi. Kulit telurnya menjadi Debata Mangala Bulan sebagai putra sulung, putih telurnya menjadi Debata Sori Pada sebagai putra kedua, dan kuning telurnya menjadi Debata Pane Na Bolon (Batara Guru) sebagai putra bungsu. Kemudian ayah mereka yakni Debata Mula Jadi menunjuk Debata Pane Na Bolon (Batara Guru) sebagai penguasa Banua Ginjang (dunia atas), Debata Sori Pada sebagai penguasa Banua Tonga (dunia tengah) dan Debata Mangala Bulan sebagai penguasa Banua Toru (dunia bawah).

Sedangkan berdasarkan Sureq I La Galigo versi Naskah Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) 188 yang tersimpan di Perpustakaan Leiden University, Belanda, disebutkan bahwa BATARA GURU yang memiliki nama kedewaan La Togeq Langiq adalah putra sulung dari Patotoqe dan Datuk Palingeq. Ia memiliki adik yang bernama La Megga Aji.

Sehingga jika kita tarik benang merah dari ketiga mitologi di atas, maka akan diperoleh informasi sbb:

1. Anak SULUNG
- Dalam Mitologi Jawa: Sang Hyang Tejamaya (Togog).
- Dalam Mitologi Batak: Debata Mangala Bulan.
- Dalam Mitologi Bugis (Sureq I La Galigo): La Togeq Langiq (Batara Guru).

2. Anak TENGAH
- Dalam Mitologi Jawa: Sang Hyang Ismaya (Semar).
- Dalam Mitologi Batak: Debata Sori Pada.
- Dalam Mitologi Bugis (Sureq I La Galigo): La Megga Aji.

3. Anak BUNGSU
- Dalam Mitologi Jawa: Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru).
- Dalam Mitologi Batak: Debata Pane Na Bolon (Batara Guru).
- Dalam Mitologi Bugis (Sureq I La Galigo): tidak diketahui.

Jadi dari ketiga mitologi di atas, terlihat bahwa ada kesamaan dalam Mitologi Jawa dan Mitologi Batak yang menempatkan posisi BATARA GURU sebagai anak bungsu, sedangkan Mitologi Bugis atau Sureq I La Galigo justru menempatkan posisi BATARA GURU (La Togeq Langiq) sebagai anak SULUNG, yang dalam Mitologi Jawa posisi ini ditempati oleh Sang Hyang Tejamaya (Togog) dan dalam Mitologi Batak posisi ini ditempati oleh Debata Mangala Bulan.

Sehingga informasi ini kiranya cukup memberikan informasi bahwa ternyata BATARA GURU dalam Mitologi Bugis atau Sureq I La Galigo adalah sosok yang berbeda dengan BATARA GURU dalam Mitologi Jawa (yakni Sang Hyang Manikmaya) dan Mitologi Batak (Debata Pane Na Bolon). Dan bukan sebuah kebetulan pula jika nama La Togeq Langiq sebagai BATARA GURU dalam Mitologi Bugis atau Sureq I La Galigo memiliki kemiripan fonetik dengan nama Togog atau Sang Hyang Tejamaya.

Pertanyaan selanjutnya adalah lantas bagaimana dengan Sangiang Serri dan Dewi Sri yang keduanya sama-sama dikenal sebagai Dewi Padi dan keduanya merupakan putri dari BATARA GURU.

Mari kita cek bersama.

Dewi Sri sangat dimitoskan di berbagai daerah di Nusantara. Jika di Jawa, Bali dan Lombok ada Dewi Sri, maka di Sunda ada Nyi Pohaci Sanghyang Asri, di Bugis ada Sangiang Serri, di Dayak Rejang Kalimantan ada Nyang Serai, di Minangkabau, ada Saningsari, di Toraja ada Ineno Pae dan di Flores ada Ine Pare, dimana seluruhnya merujuk kepada sosok yang sama yakni Dewi Padi.

Dalam Naskah Sunda beraksara Pegon yakni “Wawacan Sulanjana” disebutkan bahwa Dewi Sri terlahir dari tetesan air mata Hyang Antaga yang berwujud ular, tetesan air mata tersebut kemudian menjelma menjadi telur, tidak lama kemudian telur tersebut menetas menjadi seorang bayi perempuan, yang kemudian dibesarkan oleh permaisuri BATARA GURU yang bernama Dewi Uma, dan oleh BATARA GURU diberi nama Ni Pohaci Sanghyang Sri Dangdayang Trisnawati. Namun setelah Ni Pohaci Sanghyang Sri tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik ternyata justru membuat BATARA GURU bermaksud mengawininya. Para dewa tidak setuju maka Ni Pohaci Sanghyang Sri kemudian diracun hingga tewas, dan jenazahnya dimakamkan di Bumi dan dari makam tersebut kemudian tumbuh tanaman padi. Cerita yang sama juga ditemukan dalam Serat Manikmaya, Serat Pustakaraja Budhawaka, Serat Sejarah Ageng Nungsa Jawi, Serat Sejarah Wiwit Nabi Adam Lan Babu Kawa tumurun ing Ngarcapada, Cerita Rakyat Asal Mula Padi di Daerah Banyumas, Cerita Rakyat Asal Mula Padi di Daerah Madura, dan Cerita Rakyat Asal Mula Padi di Daerah Pasundan.

Sementara dalam Sureq I La Galigo disebutkan bahwa Sangiang Serri yang diyakini sebagai Dewi Padi memiliki nama asli We Oddang Riuq adalah putri sulung La Togeq Langiq (Batara Guru) dari selir We Saung Riuq yang meninggal ketika masih berusia tujuh hari. Namun setelah tujuh hari wafatnya, Batara Guru dan We Saung Riuq pun menjadi sangat rindu untuk menziarahi kuburan anaknya. Namun ketika tiba di kuburan anaknya, ternyata di atas kuburan We Oddang Riuq terlihat tumbuh berbagai jenis padi yang sedang menguning.

Nah jika kita cermati dari informasi terkait Dewi Sri atau Ni Pohaci Sanghyang Sri dalam mitologi Jawa dan Bali, ternyata Dewi Sri sebenarnya bukanlah putri BATARA GURU (Sang Hyang Manikmaya) melainkan putri dari Hyang Antaga yang diberikan kepada BATARA GURU (Sang Hyang Manikmaya) dan kemudian diasuh dan dibesarkan oleh istri BATARA GURU yang bernama Dewi Uma.

Lalu siapa itu Hyang Antaga?

Menurut Serat Paramayoga dan Serat Pustakaraja Purwa, Hyang Antaga atau Hyang Hantaga ternyata adalah nama lain dari Togog atau Hyang Tejamaya, kakak tertua dari Hyang Manikmaya (BATARA GURU). Sehingga sampai disini jelaslah adanya bahwa Sangiang Serri atau Dewi Sri sebenarnya adalah putri dari Hyang Antaga atau Hyang Anantaboga atau Togog atau Hyang Tejamaya yang dalam Mitologi Bugis atau Sureq I La Galigo dikenal sebagai BATARA GURU yang memiliki nama kedewaan La Togeq Langiq.

Sehingga sampai disini, dapatlah disimpulkan bahwa ternyata BATARA GURU dalam Mitologi Bugis atau Sureq I La Galigo bukanlah BATARA GURU dalam Mitologi Jawa ataupun Mitologi Batak, karena keduanya ternyata merujuk kepada sosok yang berbeda.

JAWABAN UNTUK PERTANYAAN KETIGA:

Dalam Naskah La Galigo versi Bottinna I La Dewata Sibawa I We Attaweq baris 124-125 juga disebutkan sbb:

"Sangiang Nabi adalah nama lain dari Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman melahirkan Jalilullah, Jalilullah melahirkan La Temmu Pageq, Datu Hindi melahirkan La Tegeq Langiq, La Tegeq Langiq melahirkan Batara Lattuq, Batara Lattuq melahirkan Opunna Wareq."

Sedangkan pada baris 4128-4163 dalam naskah yang sama juga disebutkan sbb:

"Dialah yang melahirkan Nabi Sulaiman, yang melahirkan La Temmu Pageq, melahirkan La Hindi, melahirkan Patotoqe, menurunkan Batara Buru, La Togeq Langiq, menurunkan Batara Lattuq, menurunkan Saweri Gading, yang dua bersaudara, namanya We Tenriabeng, yang bergelar Bissu ri Langiq, yang langsung naik ke Boting Langiq. Adapun yang laki-laki, dialah yang berlayar ke Cina, dan membuat perjodohan di Tana Ugiq."

Sementara Raja Ali Al-Haj dalam Kitabnya "Tuhfat an-Nafis" menyebutkan bahwa Sat Malangikali (Siti Mallangkek) adalah Ratu Silangi (Sulawesi) keturunan Putri Bulkis dan Nabi Sulaiman as yang dikawini oleh Raja Luwuk dan melahirkan Datu Falkik. Datu Falkik melahirkan Patolok (Patotok) dan melahirkan Batara Guru. Batara Guru melahirkan Batara Latok (Batara Lattuk).

Namun Lontar berbahasa Jawa yang berjudul GULISMAN berkode CL.48 justru menyebutkan bahwa pasca jatuhnya kekuasaan BATARA GURU atas Kerajaan Jawa oleh Balakima, seorang prajurit dari Persia yang menyerang Tanah Jawa, BATARA GURU kemudian pergi ke Mekah dan bertemu Nabi Muhammad saw. Oleh Nabi Muhammad saw, BATARA GURU diwejang tentang Agama Islam dan diminta pula untuk menyebarluaskannya di Tanah Jawa. Namun setelah Batara Sambu, putra BATARA GURU berhasil merebut kembali Kerajaan Jawa, BATARA GURU kemudian kembali ke Tanah Jawa, namun sepulangnya dari Mekah ia tidak melaksanakan amanat yang diminta oleh Nabi Muhammad saw.

Sementara jika kita melihat silsilah para nabi, maka kita akan mendapatkan bahwa Nabi Sulaiman as adalah keturunan generasi ke-15 dari Nabi Ibrahim as melalui jalur Nabi Ishaq as, sedangkan Nabi Muhammad saw adalah keturunan generasi ke-62 dari Nabi Ibrahim as melalui jalur Nabi Ismail as. Jadi jika dihitung dari Nabi Ibrahim as, maka antara Nabi Sulaiman as dan Nabi Muhammad saw terpaut jarak 47 generasi.

Sedangkan jika kita melihat silsilah BATARA GURU dari jalur Nabi Sulaiman as, maka kita akan mendapatkan bahwa antara BATARA GURU dan Nabi Sulaiman as terpaut jarak 5 generasi, sehingga dapatlah dihitung bahwa antara BATARA GURU dan Nabi Muhammad saw terpaut jarak sekitar 42 generasi, yang jika satu generasi rata-rata hidup sekitar 70 tahun maka dapat dikatakan bahwa antara BATARA GURU dan Nabi Muhammad saw terpaut jarak sekitar 2.940 tahun.

Pertanyaannya adalah apakah ada manusia yang dapat hidup selama 2.940 tahun?

Jawabnya ADA.

Serat Darmagandhul Prosa, Pupuh ke-7 menyebutkan dialog antara SABDA PALON dan Prabu Brawijaya V sbb,

“Hamba ini Raja Dang Hyang yang menjaga Tanah Jawi (Nusantara). Siapapun yang menjadi Raja, hambalah yang memomongnya. Mulai dari leluhur Paduka dulu, yaitu Wiku Manumanasa, Raden Sakutrem hingga Bambang Sakri, turun temurun hingga sekarang ini, semua menjadi momongan hamba. Jika hamba tidur, hamba mampu tidur selama 200 tahun, maka selama hamba tidur tentunya akan terjadi banyak perang saudara, yang kuat akan memangsa sesamanya, menghancurkan sesama bangsanya sendiri. Hingga saat ini, usia hamba sudah 2.000 tahun lebih 3 tahun, hamba telah memomong Raja-Raja Jawi (Nusantara), semua yang hamba momong selama ini tidak ada yang berganti agama, semua memegang teguh agama Buda (sinkretisme agama Siwa dan agama Buddha, dan disebut sebagai agama Siwa Buddha, dan lebih sering dikenal sebagai agama Buda).”

Jadi apa yang dinyatakan oleh Serat Darmagandhul di atas cukup menjadi bukti bahwa ternyata ada sosok manusia yang mampu hidup sampai 2.000 tahun lebih. Dan dalam Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwating Diyu, Pupuh Kinanthi, Bait ke-7 sampai Bait ke-10, manusia-manusia yang mampu hidup sampai 2.000 tahun lebih ini disebut dengan istilah “MANUSIA KAJIMAN”, yakni manusia yang terlahir dari hasil perkawinan antara Bangsa Manusia dan Bangsa Jin, yang kemudian melahirkan manusia-manusia yang berbadan ruhani, dan menjadi sirna kemanusiaannya, mampu tidak terlihat dan mampu juga dilihat oleh manusia.

Dan dalam Serat Darmagandhul Gancaran, Pupuh ke-6 dan Serat Darmagandhul Tembang, Pupuh ke-13 rupanya disebutkan tentang adanya perkawinan antara Bangsa Manusia dan Bangsa Jin ini sbb,

“....... Putra Nabi SYITS as yang bernama Sayid Anwar (Hyang Nurcahya) dijadikan menantu oleh Raja Jin, dan mempunyai putra bernama Hyang Nurasa yang juga menikah dengan putri jin, dan mempunyai putra bernama Hyang Wenang yang juga menikah dengan putri jin, dan mempunyai putra bernama Hyang Ning yang juga menikah dengan putri jin, dan mempunyai putra bernama Hyang Tunggal yang juga menikah dengan putri jin, dan memiliki putra bernama Hyang Guru.......”

JAWABAN UNTUK PERTANYAAN KEEMPAT:

Istilah SeuwaE itu dalam aksara lontara, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya Dewata, De’batang, atau Dewatangna. De’batang” berarti “yang tidak bertubuh”. Sedangkan De’watangna berarti “yang tidak punya wujud”. SeuwaE juga kadangkala disebut sebagai “Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang” yang berarti “dewa yang satu yang tidak beribu dan tidak berayah”. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa istilah “Dewata SeuwaE” disini merujuk kepada sosok Dewa yang dikenal dalam Teologi Bugis–Makassar.

Pada umumnya Masyarakat Bugis mengenal sosok dewa-dewa dalam tiga kategori sbb:
— Dewata LangiE: dewa yang menghuni langit.
— Dewata MallinoE: dewa yang menempati tempat-tempat tertentu, seperti tikungan jalan, posi tana (pusat bumi), pohon-pohon rindang, batu-batu besar atau semak belukar.
— Dewata UwaE: dewa yang tinggal di air.

Nah dari sini, istilah SeuwaE yang berasal dari kata “Se” yang sama dengan kata “Sa” yang berarti “satu/esa” dan kata “UwaE” yang berarti “dewa yang tinggal di air”, dimaknai sebagai “dewa yang satu yang tinggal di air” dan pemaknaan ini memiliki kemiripan dengan apa yang disampaikan dalam Al-Quran,

“Dan Dia (Tuhan) yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan ‘Arsy-Nya berada di atas air....”
( QS. Hud 11:7 )

Nah pensifatan Tuhan sebagai Sang Pencipta yang bersinggasana di atas air sebagaimana disampaikan dalam QS. Hud ayat 7 di atas inilah yang dalam Lontaraq Sangkuru’ Patau’ Mulajaji disebut dengan sebutan “Puang SeuwaE To PalanroE” yang berarti “Tuhan Yang Esa, Sang Pencipta”.

— Puang: Tuhan.
— Se: Satu / Esa.
— UwaE: yang tinggal di atas air.
— To PalanroE: Sang Pencipta.

Sehingga makna dari sebutan “Puang SeuwaE To PalanroE“ menjadi “Tuhan Yang Satu/Esa, Sang Pencipta yang bersinggasana di atas air” yang dapat dianggap memiliki kesamaan makna dengan pensifatan sosok Tuhan yang dinyatakan dalam QS. Hud ayat 7.

Namun dalam konteks ajaran SIWA, istilah Seuwae dianggap berasal dari kata “sa” yang berarti “satu” dan “ewa” (bentuk jamaknya adalah “mangewa”) yang berarti “membelah” sehingga Seuwae bermakna “satu yang membelah” yakni dari satu SIWA menjadi tiga SIWA, yang umumnya digambarkan dalam wujud BHATARA SIWA TRI SIRAH (BHATARA SIWA yan memiliki tiga kepala), yakni perwujudan BHATARA SIWA yang biasanya akan menampakkan diri sebagai sosok yang sedang duduk di atas padmasana (tempat duduk bunga teratai), memiliki tiga kepala yang masing-masing kepalanya mengenakan jathamakuta (mahkota khusus), bertangan empat dengan kedua tangan depannya membentuk mudra (postur tangan tertentu), sedangkan kedua tangan belakangnya masing-masing memegang aksamala (tasbih) dan camara (cambuk kecil pengusir lalat dan nyamuk), mengenakan abharana (pakaian sekaligus perhiasan) yang terdiri atas kundala (sepasang anting-anting), hara (kalung), keyura (kelat bahu), udarabhanda (hiasan ikat pinggang), upawita (penanda kasta) berupa selempang kain, kangkanan(gelang tangan) dan padawalaya (gelang kaki).

Tiga kepala yang masing-masing mengenakan jathamakuta (mahkota khusus) sendiri melambangkan tiga perwujudan hakiki dari BHATARA SIWA.

Kepala Pertama, sebagai lambang dari BHATARA PARAMASIWA adalah hakikat dari
Sang Sumber Semesta yang menjadi Sumber Segala Sumber. Dia adalah asal dan tujuan dari seluruh makhluk yang melampaui segalanya. Dia kerap dipersepsikan sebagai TUHAN. Sesuatu yang tidak tergambarkan oleh apapun. Sesuatu yang tidak bisa diwacanakan dengan apapun. Dia tidak bisa digambarkan, tidak bisa dibayangkan, tidak bisa dipikirkan bahkan tidak bisa diserupakan dengan apapun juga. Dia tanpa asal-usul, tanpa tujuan, tanpa awal, dan tanpa akhir. Seluruh semesta terliputi oleh-Nya. Dia menyelimuti jagad sekaligus meresap pada jagad. Dia ada sekaligus tiada. Dia sakala sekaligus niskala. Dia adalah hakikat keberadaan dan sekaligus keberadaan itu sendiri.

Kepala Kedua, sebagai lambang dari BHATARA SADASIWA adalah Sang Sumber Semesta yang mewujud dengan sifat-sifat-Nya. Jika BATHARA PARAMASIWA adalah Nirguṇa Brahman atau Tuhan dalam Dzatullah, maka BATHARA SADASIWA adalah Saguṇa Brahman atau Tuhan dalam Sifatullah. Ada banyak sosok BATHARA SADASIWA di alam semesta ini. Mereka menjadi tempat penyembahan manusia dengan banyak macam agama mereka masing-masing. Mereka adalah perwujudan dari Tuhan, perwujudan dari BATHARA PARAMASIWA namun mereka bukanlah Tuhan yang sebenarnya, dan mereka memiliki tingkatan-tingkatan tertentu.

Tingkatan dari sosok BATHARA SADASIWA ini adalah sbb:
1. Rsi/Resi (Panca Rsi, Sapta Rsi).
2. Maharsi/Maharesi.
3. Dewa-Dewi.
4. Begawan.
5. Bhatara-Bhatari.
6. Sang Hyang.

Tingkatan ini berdasarkan senioritas dan level keilmuan yang mereka miliki. Para BATHARA SADASIWA yang berada pada level Sang Hyang berada di level puncak yang paling tertinggi. Tidak ada lagi gelar di atas itu, tapi memang di antara para Sang Hyang itu sendiri masih ada level-levelnya lagi. Karena itulah sosok Sang Hyang ini tidak begitu dikenal oleh manusia. Hanya penghuni Botting Langi’ (Kahyangan) lah yang lebih mengenal para Sang Hyang ini. Dan perlu diketahui juga bahwa sosok TRIMURTI yang dikenal sebagai BRAHMA, WISNU, dan SIWA adalah para BATHARA SADASIWA yang berada pada level Sang Hyang. Karena itulah mereka juga bergelar Sang Hyang BRAHMA, Sang Hyang WISNU, dan Sang Hyang SIWA. Dan sungguh sangat merendahkan jika kita hanya menyebut mereka dengan sebutan Bhatara BRAHMA, Bhatara WISNU, dan Bhatara SIWA saja. Apalagi cuma dengan gelaran Dewa BRAHMA, Dewa WISNU dan Dewa SIWA saja, karena level mereka bukan itu. Kita harus tahu yang sebenarnya tentang level mereka dan benar dalam menempatkan gelar mereka pada tempatnya.

Adapun beberapa BATHARA SADASIWA yang berada pada level Sang Hyang yang masih dikenali adalah Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Ning, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Nurasa, dan Sang Hyang Nurcahya, dimana seluruhnya adalah leluhur atau nenek moyang dari BATARA GURU. Semua tokoh itu sangat dihormati oleh para penghuni Botting Langi’ (Kahyangan), baik itu para Rsi/Resi, Maharsi/Maharesi, Dewa-Dewi, Begawan, dan Bhatara-Bhatari. Mereka punya tempat tinggalnya sendiri, yang terpisah dengan Botting Langi’ (Kahyangan) tempat tinggal kelima level BATHARA SADASIWA yang telah dijelaskan di atas. Penghuni Botting Langi’ (Kahyangan) sendiri kadang masih sering meminta nasehat dan bantuan dari para Sang Hyang itu jika mereka menemui kesulitan.

Selanjutnya, Kepala Ketiga, sebagai lambang dari BATHARA SIWATMA yang tiada lain adalah percikan dari BATHARA PARAMASIWA yang menjadi cikal-bakal kehidupan seluruh semesta berikut makhluk-makhluk yang menghuninya. Perumpamaannya bagaikan matahari. Keberadaannya hanya satu. Cahayanya selain aktif pada dirinya sendiri sekaligus juga aktif menyebar ke segenap penjuru alam semesta, menyinari yang buruk maupun yang baik.

Pemaknaan SEUWAE yang berasal dari kata “Se” dan “Awe” yang berarti “satu yang membelah menjadi tiga” inilah yang dalam Teologi Masyarakat Bugis merujuk kepada BATHARA SIWA TRI SIRAH atau SIWA dengan TIGA KEPALA yang secara keseluruhan menggambarkan hakikat makrokosmos dan sekaligus hakikat mikrokosmos manusia itu sendiri.

Secara mikrokosmos, pemaknaan SEUWAE yang berarti “satu yang membelah menjadi tiga” ini disimbolkan sebagai Sanghyang Urip, Sanghyang Agawe Urip dan Sanghyang Anguripi. Ketiganya tidak bisa dipisahkan, ada dalam kesatuan tunggal. Ketiganya lah yang sejatinya disebut sebagai TRIMURTI yang sesungguhnya.

Puncak dari pencarian seorang sadhaka (penempuh jalan spiritual) ataupun yogi (penempuh jalan yoga) ataupun salik (penempuh jalan suluk) bukanlah satu sosok dewata tertentu yang bersemayam di Botting Langi’ atau Swargaloka atau Kahyangan. Puncak tertinggi pencarian seorang sadhaka / yogi / salik tak lebih adalah Wahaya Jati atau rupa diri sejati manusia itu sendiri. Wahaya Jati inilah yang menghidupi seluruh jagad semesta dan seluruh makhluk yang hidup di dalam semesta. Wahaya Jati inilah yang disebut sebagai Sanghyang Urip. Tanpa kehadiran Sanghyang Urip, maka seluruh semesta dan seluruh makhluk yang hidup di dalamnya akan terlempar kepada maut. Sanghyang Urip adalah Hidup, yang dalam bahasa arab disebut sebagai Hayu. Dia menyatu dalam semesta dan Dia juga menyatu dalam satu keadaan dengan seluruh makhluk. Dialah BATHARA PARAMASIWA dalam konteks makrokosmos.

Melalui cahaya kesejatian yang terang benderang tiada terkatakan, Sanghyang Urip kemudian melahirkan semesta dan makhluk-makhluk di dalamnya. Cahaya kesejatian inilah yang lantas disebut sebagai Sanghyang Agawe Urip, maksudnya adalah keberadaan yang membuat kehidupan bisa menjadi. Tanpa keberadaan Sanghyang Agawe Urip maka jagad semesta dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya tidak akan dapat terlahirkan.

Selanjutnya terdapat percikan dan tetesan yang masih merupakan bagian dari Sanghyang Urip yang jatuh ke dalam semesta yang sudah menjadi. Percikan dan tetesan yang masih merupakan bagian dari Sanghyang Urip ini yang kemudian menjadi intisari dari keberadaan makhluk hidup, disebut sebagai Sanghyang Anguripi, yan maksudnya adalah keberadaan yan menghidupi kehidupan seluruh makhluk. Dialah yang disebut sebagai ATMA atau RUH yang menjadi intisari manusia yang tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Sanghyang Urip itu sendiri.

Demikianlah tattwa atau hakikat dari ajaran SIWAISME yang hanya saya ketahui sedikit saja. Lihatlah bahwa bentangan gunung yang berada di sepanjang selatan dan barat Pulau Sulawesi, sejatinya membentuk formasi SIWA yang berbaring bertemankan gendang, kepala dan trisula yg tertancap di samping-sampingnya. Gendangnya di Sulawesi Barat, Trisulanya tegak berdiri di massenrempulu, dan Kepalanya di Gunung Bawakaraeng dan terus menjulur sampai ke kaki di arah Bulukumba sebagai perlambang dari kumbha-yoni.

Pulau Sulawesi memiliki daya magnet tersendiri bagi Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Kubro (seorang penyebar Islam pertama di Tanah Sulawesi jauh sebelum Datuk Sulaiman menyebarkan Islam di Sulawesi pada tahun 1603 Masehi) yang memilih untuk menetap dan menghabiskan sisa hidupnya di Tosora (Wajo), Sulawesi. Terlebih dengan banyaknya jejak leluhur dari Kaum Jurhum yang ditinggalkan di Pulau Sulawesi tentunya menjadi alasan tersendiri bagi Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Kubro untuk menghabiskan sisa hidupnya di Sulawesi.

Lantas siapa itu Kaum Jurhum?

Sejarah Islam mencatat bahwa Kaum Jurhum adalah kaumnya Nabi SYITS as dan Nabi SYITS as inilah yang sebenarnya disebut sebagai SIWA, beliau lah yang menjadi leluhur dari BATARA GURU, yang juga menyematkan dirinya dengan gelaran BATHARA SIWA, mengikuti gelar yang disematkan kepada leluhurnya.

Dalam Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwating Diyu, Pupuh Kinanthi, Bait ke-6, disebutkan sbb,

“Miwah sarira pukulun
punika rumiyin janmi
kang awit Sang Hyang Ad-Hama
Sang Hyang Siwa ingkang ugi
nama Nabi Sis minulya
punika manungsa jati.”

Terjemahan:

“Tubuh pukulun pun dahulu kala adalah manusia, yang berasal dari Sang Hyang Ad-Hama (Nabi Adam as). Sang Hyang Siwa yang juga bernama Nabi Sis (Nabi Syits as) yang dimuliakan, pun adalah manusia sejati.”

KESIMPULAN:

Jadi BATARA GURU yang dikenal dalam Mitologi Jawa/Bali dan Mitologi Batak (Sumatra) itu merujuknya kepada sosok yang bernama Hyang Manikmaya yang dikenal dengan sebutan “BATARA TENGGGURU” namun penyebutannya kerapkali disingkat hanya sebagai BATARA GURU.

Sedangkan BATARA GURU yang mengajarkan konsep SIWAISME dalam Mitologi Bugis (Sulawesi) dan Mitologi Manok Sabong (Kalimantan) itu merujuk kepada sosok Hyang Ismaya (Semar) dan Hyang Tejamaya (Togog) yang dalam Sureq i La Galigo dikenal dengan nama La Togeq Langiq dan La Mapegga Aji dimana keduanya dikenal dengan sebutan SIWA-GURU yang penyebutannya juga kerapkali disebut sebagai BATARA GURU.

Disinilah letak kesalahpahaman yang seringkali terjadi terkait keberadaan sosok BATARA GURU dalam Mitologi Jawa/Bali dan Mitologi Batak (Sumatra) yang seringkali dianggap sama dengan sosok BATARA GURU dalam Mitologi Bugis (Sulawesi),  dan Mitologi Manok Sabong (Kalimantan).

Mudah-mudahan sudah cukup jelas ya sedikit penjelasan saya tentang misteri sosok BATARA GURU.

Semoga kajian saya ini dapat dipahami dan memberikan sedikit pencerahan dan manfaat.

Wallahu ‘alam bishshawab.
Kebenaran hanyalah milik Allah semata.

Sarwa Rahayu,
🙏🙏🙏

Bhumi Ma-Nuuwar al-Jawi
14 Juli 2019 M / 11 Dzulqaidah 1440 H

NB:
Dan menutup diskusi panjang tentang sosok BATARA GURU ini, Mas Damar Shashangka (penulis Best Seller Novel-Novel Sejarah) akhirnya harus mengakui bahwa ternyata BATARA GURU dalam Sureq I La Galigo yang memiliki nama kedewaan La Togeq Langiq memang sepertinya lebih merujuk kepada BATARA SIWA-GURU alias Resi Agastya / Hyang Ismaya / Semar / Bandhranaya / Sabda Palon dan bukan BATARA GURU alias Batara Tengguru / Hyang Guru / Hyang Manikmaya.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar